BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kita
telah mengetahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah
pulau yang sangat banyak, sehingga Indonesia memiliki kondisi sosio-kultural
dan geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, diperkirakan pulau
yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar
13000 pulau besar dan kecil. Penduduknya berkisar 200 juta jiwa lebih, yang
terdiri atas beribu-ribu suku, ras, bahasa, dan budaya.
Dari
semua keragaman tersebut negara kita diharapkan dapat disatukan menjadi satu
dalam satu semboyan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Namun kenyataannya masih
banyak masyarakat Indonesia yang bertikai, bermusuhan, bahkan saling membunuh
diantara sesama penduduk Indonesia yang diakibatkan oleh perbedaan agama.
Tidak
hanya itu saja, bahkan dalam satu kebudayaanpun masih banyak yang bertikai,
bermusuhan, saling mengejek, bahkan saling berperang. Mereka tidak mau saling
menghargai, menghormati, dan saling mengerti. Mereka menganggap hanya dirinya
atau kebudayaannya yang paling baik dan benar. Hal seperti itulah yang dapat
menyebabkan permusuhan dan peperangan baik antara kebudayaan yang berbeda
maupun dalam kebudayaan yang sama.
Atas
dasar realitas yang terjadi di Indonesia tentang multikulturallisme tersebut
maka konsep pendidikan multikultural dimaksudkan untuk mengapresiasi segala
bentuk keragaman yang ada pada masyarakat,
menempatkan segala keragaman yang ada pada posisi yang setara secara
adil tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain.
A. Rumusan Masalah
§ Apa
devinisi dari multikultural?
§ Apa
pengertian dari pendidikan multikultural?
§ Apa
konsep yang digunakan dalam pendidikan multikultural?
§ Apa
tujuan dari pendidikan multikultural?
§ Metode
dan pendekatan apa yang digunakan dalam pendidikan multikultural?
§ Apa
kelebihan dan kekurangan pendidikan miltikultural?
B. Tujuan Penulisan
v Dapat
mengetaui devinisi multikultural dan pendidikan multikultural
v Mengetahui
konsep dasar dan tujuan dari pendidikan multikultural
v Dapat
mengetahui metode dan pendekatan pendidikan multikultural
v Mengetahui
kelebihan dan kekurangan pendidikan multikultural
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Multikulturalisme
Sebelum
menjelaskan tentang pendidikan multikultural ada baiknya membahas tentang multikulturalisme
terlebih dahulu. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi
(banyak), kultur (kebudayaan), dan isme (aliran atau paham).[1] Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham
tentang keanekaragaman kebudayaan. Kebudayaan tersebut menyangkut beberapa hal,
seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain.
Menurut
Bihuk Parekh, multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas,
ia adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan
oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya,
serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.[2]
Karenanya, ia mensyaratkan penggunaan istilah multikulturalisme dan menyatakan
suatu masyarkat disebut multikultural jika di dalamnya ada tiga ciri umum yang
menujukkan hal tersebut, yakni: (1) keanekaragaman subkultural; (2)
keanekaragaman perspektif; (3) dan keanekaragaman komunal.[3]
Oleh
para peneliti dan pengkaji multikulturalisme di Indonesia biasanya membedakan konsep
pluralisme dengan konsep multikulturalisme. Definisi sosiologi pluralisme dalam
konteks keIndonesiaan lebih sering dikonotasikan kepada pluralisme agama.
Sedangkan konsep multikulturalisme tidak hanya menegaskan pengakuan terhadap
keberagaman atau pluralisme, akan tetapi lebih jauh lagi menekankan penghargaan
atas keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Selain itu,
multikulturalisme juga menyangkut berbagai hal lainnya, seperti politik,
demokrasi, keadilan, penegakkan hukum, kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja,
berusaha, berprestasi, hak asasi manusia (HAM), hak budaya golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat dan mutu produktifitas, serta berbagai
konsep lainnya yang relevan.
B.
Pendidikan
Multikulturalisme
Pendidikan multikultural itu
memiliki banyak definisi atau pendapat dari berbagai ahli. Menurut Andersen dan
Cusher (1994:320) pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan.[4]
Kemudian James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai
pendidikan untuk people of color.[5]
Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah).
Sejalan dengan pendapat di atas,
Muhaemin el Ma’hadi berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).[6]
Dalam bukunya Multicultural
Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda
Hernadez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui
realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas,
agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan.[7]
Atau dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu
pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan
cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam, baik itu
latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
Dari beberapa pendapat para ahli di
atas, semuanya itu hampir sama mendefinisikan pendidikan multikultural.
Kesamaan tersebut terletak pada intinya, yang mana inti tersebut menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural itu mengajarkan untuk saling menghargai setiap
perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap saling menghargai,
memelihara saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman etnik, ras, kultural,
dan agama.
C.
Konsep
Dasar Pendidikan Multikultural
Wacana multikuturalisme di Indonesia
mulai terbentuk alurnya ketika Mukti Ali merumuskan program besarnya, yaitu
program pembinaan kerukunan hidup beragama di Indonesia yang dikembangkan dalam
format Trilogi Kerukunan yaitu (1) Kerukunan intern umat beragama, suatu
upaya dialogis menyangkut aspek-aspek pemikiran keagamaan, gerakan, peran
sosial, dan sebagainya dalam satu agama demi kepentingan agama tersebut dan
kepentingan bangsa secara keseluruhan.(2) kerukunan antar umat beragama, yaitu
suatu upaya dialogis antar kelompok agama yang berbeda (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, agama lainnya, dan aliran kepercayaan). (3)Kerukunan
antar umat beragama dengan pemerintah, yaitu suatu upaya dialogis antara rakyat
pemeluk agama dengan pemerintah dalam rangka meningkatkan peran agama dan umat
beragama dalam pembangunan nasional.[8]
Keberhasilan Mukti Ali dalam menjalankan
program ini ditunjang oleh latar keahliannya sebagai ahli Ilmu Perbandingan
Agama yang diakui kepakarannya di Indonesia.[9]
Arah Trilogi Kerukunan tersebut
tidak terlepas dari kasus-kasus yang terjadi menyangkut ketiga model hubungan
di atas. Ancaman perselisihan antar golongan atau gerakan yang berbeda corak
pemikiran keagamaannya dalam satu agama, perkembangan pemikiran modern dalam
islam, kemunculan aliran-aliran sempalan, fenomena aliran sesat, nabi daru,
penodaan agama, dan sebagainya. Pada saat itu juga amat menonjol model hubungan
islam tradisional dan islam modernis dengan berbagai organisasinya yang
mengalami pasang surut, hubungan antar umat beragama, khususnya ketika muncul
masalah yang menyangkut penyebaran agama pada saat itu
Penggunaaan perspektif
multikulturalisme dalam kajian pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu
memperhatikan konteks keindonesiaan serta karakteristik dari setiap kasus yang
terjadi. Konteks keindonesiaan inilah yang membedakan antara Indonesia dengan
kasus-kasus negara lain, karena akan memberikan nuansa lokalitas Indonesia yang
amat diperukan untuk memahami kasus-kasus tersebut. Pemahaman terhadap kasus
per kasus dengan segala karakteristik yang melingkupinya akan mengantarkan
kepada rekomendasi-rekomendasi yang dapat dirumuskan secara bijak bagi
penyelesaian persoalan-persoalan relasi antar budaya dan antar umat beragama di
Indonesia.
Dalam pendidikan multikulturalisme
juga menggunakan konsep yang terdapat pada semboyan negara kita, yaitu Bhinneka
Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara Indonesia
yang memiliki berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan kebudayaan seharusnya
dapat disatukan dengan menerapkan semboyan negara kita, namun kenyataannya
berbeda, masih banyak penduduk Indonesia yang bertikai karena masalah suku,
ras, agama, dan kebudayaan. Jadi, disamping menerapkan semboyan tersebut, upaya
untuk menyelesaikan masalah yang melanda negeri ini adalah dengan menggunakan
konsep-konsep kearifan lokal yang banyak di temuan di berbagai kelompok
masyarakat Indonesia dan rujukan-rujukan teoritis yang di dasarkan pada
kasus-kasus lokal Indonesia.
Menurut Tilaar bahwa untuk
merekonstruksi konsep pendidikan multikultural, ia menegaskan tiga lapis
diskursus yang berkaitan, yaitu:[10]
1. Masalah
kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya
suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimana hubungan antara kebudayaan
dengan kekuasaan dalam masyarakat sehubung dengan konsep kesetaraan di
masyarakat. Apakah kelompok-kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan
hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat.
2. Kebiasaan-kebiasaan,
tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3. Kegiatan
atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Dalam hal ini Tilaar menegaskan
bahwa dalam praksis pendidikan, praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan oleh
kelompok dalam masyarakat itu lebih penting dari pada sekedar pengembangan
wacana mengenai masalah kebudayaan. Praktik-praktik tersebut kemudian diamati
apakah ada prestasi yang menonjol yang dimiliki atau ditunjukkan oleh suatu kelompok
dalam masyarakat yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan bermasyarakat yang
tidak menimbulkan prasangka yang negatif dari kelompok lain atas prestasi dari
kelompok tersebut.
Selain itu, Tilaar juga menguraikan
persoalan-persoalan dasar untuk membangun konsep pendidikan multikultural.
Persoalan-persoalan dasar tersebut, antara lain:[11]
1. Konsep
yang jelas mengenai kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2. Peranana
pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
3. Hakikat
pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4. Hak
orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya.
5. Nilai-nilai
yang akan dipertinbangkan (shared values).
Dalam menegaskan konsep pendidikan
multikultural, Tilaar mengacu pada konsep C.I. Bennet yang mrnunjukkan dua
aspek mendasar, yaitu nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural.
Nilai-nilai inti tersebut mencakup:[12]
1) Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralisme budaya dalam masyarakat;
2)Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; 3) Pengembangan
tanggung jawab masyarakat dunia, dan 4) Pengembangan tanggung jawab manusia
terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai inti tersebut maka
dirumuska enam tujuan, yaitu:[13]
1. Mengembangkan
perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat.
2. Memperkuat
kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3. Memperkuat
kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat.
4. Membasmi
rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka
5. Mengembangkan
kesadaran atas kepemilikan planet bumi.
6. Mengembangkan
ketrampilan aksi sosial.
Jadi, pada intinya konsep pendidikan
multikultural merupakan respon atas ancaman disintegrasi bangsa dan dominasi
sekelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang dipicu oleh keragaman budaya
(multikultur).
D. Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan pendidikan multikultural ada
dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara
karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya
tercapai dengan baik.
Pada dasarnya tujuan awal pendidikan
multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam
dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun mahasiswa umum.
Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang
baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transormator pendidikan
multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan
demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.
Sedangkan tujuan akhir pendidikan
multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai
materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapakan juga bahwa para
peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan
multikultural Ainul Yaqin (2005).
Sementara itu, H.A.R. Tilaar
merumuskan enam tujuan pendidikan multikultural. Rumusan tujuan pendikan
multikultural juga dapat disimak dari pembahasan-pembahasan oleh pengkaji
pendidikan multikultural di Indosesia, seperti M. Ainul Yaqin dan Zakiyuddin
Baidhawy. Berikut ini adalah inti sari dari pemikiran mereka tentang tujuan
pendidikan multikultural, yaitu:[14]
1. Membangun
paradigma keberagaman inklusif
2. Menghargai
keragaman bahasa
3. Membangun
sensitif gender
4. Membangun
pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial
5. Membangun
sikap anti deskriminasi etnik
6. Menghargai
perbedaan kemampuan
7. Menghargai
perbedaan umur
8. Belajar
hidup dalam perbedaaan
9. Membangun
sikap saling percaya
10. Membangun
sikap saling pengertian
11. Menjunjung
sikap saling menghargai
12. Membangun
sikap tebuka dalam berpikir
13. Menumbuhkan
sikap apresiatif dan interdependensi.
14. Resolusi
konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
E.
Metode dan Pendekatan
Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah konsep yang
harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multikultural
secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang
beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural
adalah sebagai berikut:[15]
1.
Metode Kontribusi
Dalam penerapan metode ini
pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain.
Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan
bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan
maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa
melibatkan pembelajar didalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan
peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada
kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya
dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.
Namun metode ini memiliki banyak
keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah
tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.
2.
Metode Pengayaan
Materi pendidikan, konsep, tema dan
perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur
aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang
masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya
adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian
mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah
pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain.
Metode ini juga menghadapi problem
sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji biasanya selalu
berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa,
konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3.
Metode Transformatif
Metode ini secara fundamental
berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar
melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara
kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka
referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang
sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur
kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari
beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep
“makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran
kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4.
Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi
Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode
transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa
merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk
memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting
berkaitan dengan hal itu.
Metode ini memerlukan pembelajar
tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga
berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial.
Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan
kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka
mendapatkan sense kesadaran dan kemujaraban berpolitik.
Pendekatan-pendekatan yang mungkin
bisa dilakukan di dalam pendidikan kultural adalah sebagai berikut:[16]
1.
Pendekatan Historis
Pendekatan ini mengandaikan bahwa
materi yang diajarkan kepada pembelajar dengan menengok kembali ke belakang.
Maksudnya agar pebelajar dan pembelajar mempunyai kerangka berpikir yang
komplit sampai ke belakang untuk kemudian mereflesikan untuk masa sekarang atau
mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis
dan dinamis.
2.
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini mengandaikan terjadinya
proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau
datangnya di masa lampau. Dengan pendekatan ini materi yang
diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena
senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat
indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir
kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode
pengayaan.
3.
Pendekatan Kultural
Pendekatan ini menitikberatkan
kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini
pembelajar bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara
otolatis pebelajar juga bisa mengetahui mana tradisi arab dan mana tradisi yang
datang dari islam.
4.
Pendekatan Psikologis
Pedekatan ini berusaha memperhatikan
situasi psikologis perseorangan secara tersendiri dan mandiri. Artinya
masing-masing pembelajar harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan
karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang
pebelajar harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan pembelajar sehingga ia
bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.
5.
Pendekatan Estetik
Pendekatan estetik pada dasarnya
mengajarkan pembelajar untuk berlaku sopan dan santun, damai, ramah, dan
mencintai keindahan. Sebab segala materi kalau hanya didekati secara doktrinal
dan menekan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka pembelajar akan cenderung
bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan ini untuk
mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya
sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.
6.
Pendekatan Berprespektif Gender
Pendekatan ini mecoba
memberikan penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis
kelamin karena sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang
untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi
sosial yang ada di sekolah yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah
laki-laki bisa dihilangkan.
Keenam pendekatan ini sangat
memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan
kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan yang
lainnya, selain enam yang disebutkan tadi di atas, sangat mungkin untuk
diterapkan. Agar terwujudnya pendidikan yang multikultural di negeri kita
Indonesia.
F.
Kelebihan
dan Kekurangan Pendidikan Multikultural
1.
Kelebihan Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, ada
dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima
dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:[17]
a.
Mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam
mata pelajaran.
b.
Membawa siswa untuk memahami
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
c.
Menyesuaikan metode pengajaran
dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
d.
Mengidentifikasi karakteristik ras
siswa dan menentukan metode pengajarannya.
e.
Melatih kelompok untuk
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan
staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.
2.
Kekurangan Pendidikan Multikultural
dan Solusinya
Mengimplementasikan pendidikan
multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala
dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak
awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:[18]
a.
Perbedaan Pemaknaan terhadap
Pendidikan Multikultural
Perbedaan
pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya.
Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di
sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu
memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan
multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa
pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis
yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu.
Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap
toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi,
tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
b.
Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam
pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki
latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang
terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di
lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di
antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan
memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk
itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala
sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara
seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe
kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada
pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk
ke jalur kontinuitas.
c.
Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan
multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen
yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit
untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal
tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung
pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk
melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di
Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu
masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan
dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
d.
Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan
Keseragaman
Sudah
sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan
selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan
adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman
dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama
bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan
orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan
mengakui keragaman dan perbedaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Multikultural adalah suatu hal yang berkaitan dengan berbagai
keanekaragaman yang ada di dalam masyarakat, seperti suku, ras,
agama, bahasa, adat, dan kebudayaan. Selan itu, multikultural juga menyangkut
beberapa hal, seperti politik, demokrasi, keadilan, penegakkan hukum,
kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak asasi manusia
(HAM), hak budaya golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat
dan mutu produktifitas, serta berbagai konsep lainnya yang relevan.
Pendidikan multikultural adalah
suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara
menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif
dalam proses pendidikan. Selain itu dengan pendidkan multikultural segala
bentuk penindasan terhadap kebudayaan lain dapat diminimalisir.
Pendidikan multikultural itu
memiliki konsep dasar yaitu semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika dan Trilogi
Kerukunan yaitu (1) Kerukunan intern umat beragama. (2) kerukunan antar
umat beragama. (3)Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Dengan
adanya konsep dasar tersebut, diharapkan pendidikan multikulturalisme dapat diterapkan sebaik mungkin.
Selain itu, pendidikan
multikultural juga memiliki tujuan. Tujuan tersebut ada dua, yaitu tujuan awal
dan tujuan akhir. Tujuan awalnya adalah membentuk wacana pendidikan. Sedangkan
tujuan akhirnya adalah membentuk karakter yang demokratis, pluralis, dan
humanis.
Dalam penerapannya,
pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dan
pendekatan. Metode tersebut antara lain: metode kontribusi, metode pengayaan,
metode transformatif, metode pembuatan keputusan dan aksi sosial. Sedangkan
pendekatannya, yaitu pendekatan historis, sosiologis, kultural, psikologis,
estetik, berprespektif gender.
Pada pendidikan multikultural juga
terdapat kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Salah satu kelebihannya,
yaitu dengan pendidikan multikultural dapat melatih kelompok untuk berpartisipasi
dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang
berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik, dapat mengidentifikasi
karakteristik ras atau etnis dari seorang siswa sehingga dapat menentukan
metode pengajaran yang tepat.
Sedangkan kekurangannya adalah pada
perbedaan pemaknaan terhadap pendidikan multikultural, munculnya gejala
diskontinuitas, rendahnya komitmen berbagai pihak, kebijakan-kebijakan yang
suka akan keseragaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfud, Choirul, Pendidikan
Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Taruna, Dody S., Pendidikan Agama
Islam Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010.
Parekh, Bikhu, Rethinking
Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan
Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Dewi, Marliana Anisa, Pendidikan Multikultural, http://gears99.blogspot.com/2012/04/ pendidikan-multikultural.html./ [28 April 2012].
Banks, James, Multicultural
Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research
in Education, 1993, [online].
Tersedia: http://awankboys.blogspot.com/2010/05/pendidikan-multikultural.html
[20 Maret 2012].