Rabu, 16 Januari 2013

Pendidikan Multikultural



BAB I
PENDAHULUAN
           



A.            Latar Belakang
            Kita telah mengetahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak, sehingga Indonesia memiliki kondisi sosio-kultural dan geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, diperkirakan pulau yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13000 pulau besar dan kecil. Penduduknya berkisar 200 juta jiwa lebih, yang terdiri atas beribu-ribu suku, ras, bahasa, dan budaya.
            Dari semua keragaman tersebut negara kita diharapkan dapat disatukan menjadi satu dalam satu semboyan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Namun kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang bertikai, bermusuhan, bahkan saling membunuh diantara sesama penduduk Indonesia yang diakibatkan oleh perbedaan agama.
            Tidak hanya itu saja, bahkan dalam satu kebudayaanpun masih banyak yang bertikai, bermusuhan, saling mengejek, bahkan saling berperang. Mereka tidak mau saling menghargai, menghormati, dan saling mengerti. Mereka menganggap hanya dirinya atau kebudayaannya yang paling baik dan benar. Hal seperti itulah yang dapat menyebabkan permusuhan dan peperangan baik antara kebudayaan yang berbeda maupun dalam kebudayaan yang sama.
            Atas dasar realitas yang terjadi di Indonesia tentang multikulturallisme tersebut maka konsep pendidikan multikultural dimaksudkan untuk mengapresiasi segala bentuk keragaman yang ada pada masyarakat,  menempatkan segala keragaman yang ada pada posisi yang setara secara adil tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain.


A.    Rumusan Masalah
§    Apa devinisi dari multikultural?
§    Apa pengertian dari pendidikan multikultural?
§    Apa konsep yang digunakan dalam pendidikan multikultural?
§    Apa tujuan dari pendidikan multikultural?
§    Metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam pendidikan multikultural?
§    Apa kelebihan dan kekurangan pendidikan miltikultural?


B.     Tujuan Penulisan
v Dapat mengetaui devinisi multikultural dan pendidikan multikultural
v Mengetahui konsep dasar dan tujuan dari pendidikan multikultural
v Dapat mengetahui metode dan pendekatan pendidikan multikultural
v Mengetahui kelebihan dan kekurangan pendidikan multikultural
BAB II
PEMBAHASAN




A.            Pengertian Multikulturalisme

            Sebelum menjelaskan tentang pendidikan multikultural ada baiknya membahas tentang multikulturalisme terlebih dahulu. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (kebudayaan), dan isme (aliran atau paham).[1]  Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan. Kebudayaan tersebut menyangkut beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain.
            Menurut Bihuk Parekh, multikulturalisme tidak sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.[2] Karenanya, ia mensyaratkan penggunaan istilah multikulturalisme dan menyatakan suatu masyarkat disebut multikultural jika di dalamnya ada tiga ciri umum yang menujukkan hal tersebut, yakni: (1) keanekaragaman subkultural; (2) keanekaragaman perspektif; (3) dan keanekaragaman komunal.[3]
            Oleh para peneliti dan pengkaji multikulturalisme di Indonesia biasanya membedakan konsep pluralisme dengan konsep multikulturalisme. Definisi sosiologi pluralisme dalam konteks keIndonesiaan lebih sering dikonotasikan kepada pluralisme agama. Sedangkan konsep multikulturalisme tidak hanya menegaskan pengakuan terhadap keberagaman atau pluralisme, akan tetapi lebih jauh lagi menekankan penghargaan atas keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Selain itu, multikulturalisme juga menyangkut berbagai hal lainnya, seperti politik, demokrasi, keadilan, penegakkan hukum, kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak asasi manusia (HAM), hak budaya golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat dan mutu produktifitas, serta berbagai konsep lainnya yang relevan.


B.            Pendidikan Multikulturalisme
           
            Pendidikan multikultural itu memiliki banyak definisi atau pendapat dari berbagai ahli. Menurut Andersen dan Cusher (1994:320) pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.[4] Kemudian James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.[5] Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah).
            Sejalan dengan pendapat di atas, Muhaemin el Ma’hadi berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).[6]
            Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernadez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[7] Atau dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam, baik itu latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
            Dari beberapa pendapat para ahli di atas, semuanya itu hampir sama mendefinisikan pendidikan multikultural. Kesamaan tersebut terletak pada intinya, yang mana inti tersebut menjelaskan bahwa pendidikan multikultural itu mengajarkan untuk saling menghargai setiap perbedaan, menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap saling menghargai, memelihara saling pengertian, keterbukaan dalam keragaman etnik, ras, kultural, dan agama.



C.            Konsep Dasar Pendidikan Multikultural

            Wacana multikuturalisme di Indonesia mulai terbentuk alurnya ketika Mukti Ali merumuskan program besarnya, yaitu program pembinaan kerukunan hidup beragama di Indonesia yang dikembangkan dalam format Trilogi Kerukunan yaitu (1) Kerukunan intern umat beragama, suatu upaya dialogis menyangkut aspek-aspek pemikiran keagamaan, gerakan, peran sosial, dan sebagainya dalam satu agama demi kepentingan agama tersebut dan kepentingan bangsa secara keseluruhan.(2) kerukunan antar umat beragama, yaitu suatu upaya dialogis antar kelompok agama yang berbeda (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, agama lainnya, dan aliran kepercayaan). (3)Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, yaitu suatu upaya dialogis antara rakyat pemeluk agama dengan pemerintah dalam rangka meningkatkan peran agama dan umat beragama dalam pembangunan nasional.[8] Keberhasilan  Mukti Ali dalam menjalankan program ini ditunjang oleh latar keahliannya sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama yang diakui kepakarannya di Indonesia.[9]
            Arah Trilogi Kerukunan tersebut tidak terlepas dari kasus-kasus yang terjadi menyangkut ketiga model hubungan di atas. Ancaman perselisihan antar golongan atau gerakan yang berbeda corak pemikiran keagamaannya dalam satu agama, perkembangan pemikiran modern dalam islam, kemunculan aliran-aliran sempalan, fenomena aliran sesat, nabi daru, penodaan agama, dan sebagainya. Pada saat itu juga amat menonjol model hubungan islam tradisional dan islam modernis dengan berbagai organisasinya yang mengalami pasang surut, hubungan antar umat beragama, khususnya ketika muncul masalah yang menyangkut penyebaran agama pada saat itu
            Penggunaaan perspektif multikulturalisme dalam kajian pendidikan multikulturalisme di Indonesia perlu memperhatikan konteks keindonesiaan serta karakteristik dari setiap kasus yang terjadi. Konteks keindonesiaan inilah yang membedakan antara Indonesia dengan kasus-kasus negara lain, karena akan memberikan nuansa lokalitas Indonesia yang amat diperukan untuk memahami kasus-kasus tersebut. Pemahaman terhadap kasus per kasus dengan segala karakteristik yang melingkupinya akan mengantarkan kepada rekomendasi-rekomendasi yang dapat dirumuskan secara bijak bagi penyelesaian persoalan-persoalan relasi antar budaya dan antar umat beragama di Indonesia.
            Dalam pendidikan multikulturalisme juga menggunakan konsep yang terdapat pada semboyan negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Negara Indonesia yang memiliki berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan kebudayaan seharusnya dapat disatukan dengan menerapkan semboyan negara kita, namun kenyataannya berbeda, masih banyak penduduk Indonesia yang bertikai karena masalah suku, ras, agama, dan kebudayaan. Jadi, disamping menerapkan semboyan tersebut, upaya untuk menyelesaikan masalah yang melanda negeri ini adalah dengan menggunakan konsep-konsep kearifan lokal yang banyak di temuan di berbagai kelompok masyarakat Indonesia dan rujukan-rujukan teoritis yang di dasarkan pada kasus-kasus lokal Indonesia.
            Menurut Tilaar bahwa untuk merekonstruksi konsep pendidikan multikultural, ia menegaskan tiga lapis diskursus yang berkaitan, yaitu:[10]
1.      Masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan dalam masyarakat sehubung dengan konsep kesetaraan di masyarakat. Apakah kelompok-kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat.
2.      Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu masyarakat.
3.      Kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
            Dalam hal ini Tilaar menegaskan bahwa dalam praksis pendidikan, praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat itu lebih penting dari pada sekedar pengembangan wacana mengenai masalah kebudayaan. Praktik-praktik tersebut kemudian diamati apakah ada prestasi yang menonjol yang dimiliki atau ditunjukkan oleh suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak menimbulkan prasangka yang negatif dari kelompok lain atas prestasi dari kelompok tersebut.
            Selain itu, Tilaar juga menguraikan persoalan-persoalan dasar untuk membangun konsep pendidikan multikultural. Persoalan-persoalan dasar tersebut, antara lain:[11]
1.      Konsep yang jelas mengenai kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2.      Peranana pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
3.      Hakikat pluralisme yang berarti pengakuan terhadap kelompok minoritas dalam masyarakat.
4.      Hak orang tua dalam menentukan pendidikan anaknya.
5.      Nilai-nilai yang akan dipertinbangkan (shared values).

            Dalam menegaskan konsep pendidikan multikultural, Tilaar mengacu pada konsep C.I. Bennet yang mrnunjukkan dua aspek mendasar, yaitu nilai inti dan tujuan pendidikan multikultural. Nilai-nilai inti tersebut mencakup:[12] 1) Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralisme budaya dalam masyarakat; 2)Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; 3) Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan 4) Pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
            Berdasarkan nilai inti tersebut maka dirumuska enam tujuan, yaitu:[13]
1.      Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat.
2.      Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3.      Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat.
4.      Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka
5.      Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi.
6.      Mengembangkan ketrampilan aksi sosial.
           
            Jadi, pada intinya konsep pendidikan multikultural merupakan respon atas ancaman disintegrasi bangsa dan dominasi sekelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang dipicu oleh keragaman budaya (multikultur).

D.    Tujuan Pendidikan Multikultural
           
Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik.
Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transormator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapakan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural Ainul Yaqin (2005).
            Sementara itu, H.A.R. Tilaar merumuskan enam tujuan pendidikan multikultural. Rumusan tujuan pendikan multikultural juga dapat disimak dari pembahasan-pembahasan oleh pengkaji pendidikan multikultural di Indosesia, seperti M. Ainul Yaqin dan Zakiyuddin Baidhawy. Berikut ini adalah inti sari dari pemikiran mereka tentang tujuan pendidikan multikultural, yaitu:[14]
1.      Membangun paradigma keberagaman inklusif
2.      Menghargai keragaman bahasa
3.      Membangun sensitif gender
4.      Membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial
5.      Membangun sikap anti deskriminasi etnik
6.      Menghargai perbedaan kemampuan
7.      Menghargai perbedaan umur
8.      Belajar hidup dalam perbedaaan
9.      Membangun sikap saling percaya
10.  Membangun sikap saling pengertian
11.  Menjunjung sikap saling menghargai
12.  Membangun sikap tebuka dalam berpikir
13.  Menumbuhkan sikap apresiatif dan interdependensi.
14.  Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.



E.            Metode dan Pendekatan Pendidikan Multikultural

            Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:[15]
1.      Metode Kontribusi
            Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar didalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.
Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.

2.      Metode Pengayaan
Materi pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain.
Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.

3.      Metode Transformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.

4.      Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan sense kesadaran dan kemujaraban berpolitik.

Pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa dilakukan di dalam pendidikan kultural adalah sebagai berikut:[16]

1.      Pendekatan Historis
            Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan kepada pembelajar dengan menengok kembali ke belakang. Maksudnya agar pebelajar dan pembelajar mempunyai kerangka berpikir yang komplit sampai ke belakang untuk kemudian mereflesikan untuk masa sekarang atau mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis.

2.      Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau datangnya di masa lampau.  Dengan pendekatan ini  materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode pengayaan.

3.      Pendekatan Kultural
Pendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini pembelajar bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara otolatis pebelajar juga bisa mengetahui mana tradisi arab dan mana tradisi yang datang dari islam.

4.      Pendekatan Psikologis
Pedekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis perseorangan secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing pembelajar harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pebelajar harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan pembelajar sehingga ia bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.

5.      Pendekatan Estetik
Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan pembelajar untuk berlaku sopan dan santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Sebab segala materi kalau hanya didekati secara doktrinal dan menekan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka pembelajar akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan ini untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.

6.      Pendekatan Berprespektif Gender
Pendekatan ini mecoba memberikan  penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin karena sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa dihilangkan.

Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan. Agar terwujudnya pendidikan yang multikultural di negeri kita Indonesia.



F.             Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Multikultural

1.      Kelebihan Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:[17]
a.    Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
b.    Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
c.    Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
d.   Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya.
e.    Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.
2.      Kekurangan Pendidikan Multikultural dan Solusinya
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:[18]
a.    Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
        Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
b.    Munculnya Gejala Diskontinuitas
        Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
c.    Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
        Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.

d.   Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
        Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.



BAB III
PENUTUP



A.    Kesimpulan

Multikultural adalah suatu hal yang berkaitan dengan berbagai keanekaragaman yang ada di dalam masyarakat, seperti suku, ras, agama, bahasa, adat, dan kebudayaan. Selan itu, multikultural juga menyangkut beberapa hal, seperti politik, demokrasi, keadilan, penegakkan hukum, kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak asasi manusia (HAM), hak budaya golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, tingkat dan mutu produktifitas, serta berbagai konsep lainnya yang relevan.
Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Selain itu dengan pendidkan multikultural segala bentuk penindasan terhadap kebudayaan lain dapat diminimalisir.
Pendidikan multikultural itu memiliki konsep dasar yaitu semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika dan Trilogi Kerukunan yaitu (1) Kerukunan intern umat beragama. (2) kerukunan antar umat beragama. (3)Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Dengan adanya konsep dasar tersebut, diharapkan pendidikan multikulturalisme  dapat diterapkan sebaik mungkin.
Selain itu, pendidikan multikultural juga memiliki tujuan. Tujuan tersebut ada dua, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awalnya adalah membentuk wacana pendidikan. Sedangkan tujuan akhirnya adalah membentuk karakter yang demokratis, pluralis, dan humanis.
Dalam penerapannya, pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Metode tersebut antara lain: metode kontribusi, metode pengayaan, metode transformatif, metode pembuatan keputusan dan aksi sosial. Sedangkan pendekatannya, yaitu pendekatan historis, sosiologis, kultural, psikologis, estetik, berprespektif gender.
Pada pendidikan multikultural juga terdapat kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Salah satu kelebihannya, yaitu dengan pendidikan multikultural dapat melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik, dapat mengidentifikasi karakteristik ras atau etnis dari seorang siswa sehingga dapat menentukan metode pengajaran yang tepat.
Sedangkan kekurangannya adalah pada perbedaan pemaknaan terhadap pendidikan multikultural, munculnya gejala diskontinuitas, rendahnya komitmen berbagai pihak, kebijakan-kebijakan yang suka akan keseragaman.


DAFTAR PUSTAKA



Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Taruna, Dody S., Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010.
Parekh, Bikhu, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Dewi, Marliana Anisa, Pendidikan Multikultural, http://gears99.blogspot.com/2012/04/ pendidikan-multikultural.html./ [28 April 2012].
Banks, James, Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education, 1993, [online]. Tersedia: http://awankboys.blogspot.com/2010/05/pendidikan-multikultural.html [20 Maret 2012].





            [1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 75
            [2] Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Kementrian Agama RI, 2010, hlm. 65
            [3] Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Ke-5, hlm. 15-17
            [4] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, hlm.175
            [5] Ibid.
            [6] ibid., hlm. 176
            [7] Ibid.
            [8] Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam..., hlm. 81
            [9] Ibid., hlm. 101
            [10] H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 207
            [11] Ibid., hlm. 207-208
            [12] Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam..., hlm. 107
            [13] H.A.R. Tilaar, Kukuasaan dan Pendidikan...,hlm. 209-210
                [14] Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam..., hlm. 117-118
            [15] Dewi, Marliana Anisa, Pendidikan Multikultural, http://gears99.blogspot.com /2012/04/pendidikan-multikultural.html

            [16]  James A. Banks, “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice,” dalam Jam oes A Banks dan Cherry A. McGee Banks, Handbook of Research on Multicultural Education, hlm. 12-13
            [17] Dewi, Marliana Anisa, Pendidikan Multikultural, http://gears99.blogspot.com /2012/04/pendidikan-multikultural.html
            [18] Ibid.